Tuesday, April 28, 2015

Terlerailah Kuncup Dedaun

Di birai jendela jernih yang dilatari rembulan serta kerdipan bintang, dua susuk tubuh sering duduk berbicara. Bicara mereka penuh dengan emosi dan mainan gaya; terkadang nampak tegang tatkala keseriusan hadir dalam rona bicara. dan terkadang menyusul hilai tawa yang memecah kesunyian malam di segenap penjuru tingkat 15.

Masing-masing cuba melengkapi rona emosi masing-masing. Berbekalkan larut malam serta frustasi terhadap spesies sendiri, ruhi suasananya menghadirkan mereka untuk mengkoreksi diri dalam mencari solusi untuk terus berjuang menghadapi baki sisa hidup yang mendatang.

Gelisahnya figura hati akhirnya rebah dalam tautan telinga yang hemat mendengar, dan lafaz bibir yang ikhlas dalam tiap titipan bicara. Nun di birai jendela, ditemani pelita ikhlas yang menerangi dua susuk tubuh tersebut dalam mengharungi pekat malam.

Pabila malam mulai melabuhkan tirainya yang memekat, dan masing-masing mulai sedar yang ini bukannya omongan yang kosong belaka, bicara dua susuk ini berhenti. Hasil perlu diraih dari bicara pekat malam ini. Solusi digapai usai bermuhasabah. Aksi bakal menyusul. Senyum dan ucapan selamat malam dibalas. Pintu dikatup. Lampu dunia dipadam. Menanti hari esok yang penuh dengan cahaya dalam larut malam yang memekat.

Dan nun jauh di bawah sana, musim demi musim, kuncup dedaunan mula terlerai dari hibernasi musim sejuk yang lama. Musim bunga bakal tiba, dan sudah tiba gilirannya untuk si hijau mula beraksi.